|
|
|
|
|
|

Wednesday 22 April 2009

Jangan Panik Dong Pak SBY (Belajar dari Kecurangan Pilkada Banten 2006)

Bahagia rasanya belakangan ini wa bil khusus per hari ini, I am not alone in my sorrow! Saya tidak sendirian lagi didalam meneriakkan kecurangan, ketidak adilan, manipulasi, dan puluhan-ribu kebohongan publik by design yang dilakukan secara sistemik dan berkelanjutan oleh yang ‘diduga’ sejumlah oknum sisa-sisa rezim status quo demi untuk mempertahankan kekuasaannya diera yang ‘katanya’ reformasi ini. Belasan tulisan dalam halaman-halaman harian Kompas hari ini tanggal 22 April 2009, termasuk dua sub-judul dari respon Presiden RI Pak SBY terhadap desakan teriakan curangnya pelaksanaan Pileg 2009, menggiring kita memahami sesuatu yang selama ini ‘diduga’ memang di-design oleh para ‘pemikir’ strategi internal nasional kita– para intelijen Indonesia. Kalau memang tidak curang, ya… santai saja lagi Pak Presiden-ku yang terhormat! Ingatkah saudara dan saudariku sekalian para pembaca blog-ku akan apa yang diceritakan oleh Nicolo Machiavelli didalam buku karya monumentalnya didalam Bahasa Italia berjudul Il Principe?

Cerita Nicolo Machiavelli dari Italia

Kurang lebih secara garis besar didalam buku tersebut secara kronologis diceritakan sebagai berikut; adalah kisah dari sebuah kerajaan di Italia dimana sebuah kelompok borjuis pemerintahan kerajaan yang baru saja ditumbangkan oleh sekelompok golongan yang berasal dari kaum proletar (warga miskin). Mereka menumbangkan sang Raja lalim sekaligus kelompok pemerintahan didalamnya. Saat itu rakyat didalam kerajaan tersebut sudah sangat tidak tahan atas prilaku korup, manipulasi, korupsi, nepotisme dan ribuan kebohongan publik lain sebagainya yang dilakukan oleh sang Raja lalim dan pemerintahannya. Bergotong-royong mereka berhasil mengumpulkan kekuatan melalui gerakan masal rakyat dengan hasil sangat mencengangkan. Yaitu berhasil ditumbangkannya sang Raja lalim tersebut berikut jajaran pemerintahannya. Nah, demi untuk menyelamatkan diri dari kejaran ranah hukum dari golongan proletar yang menang, maka golongan borjuis ini ‘berpura-pura’ menyerah dan bersedia menanggalkan ‘baju-baju’ kebesaran kelompok borjuisnya dan menggantikan dengan ‘jenis dan warna’ baju yang dipakai oleh kelompok proletar tadi. Kemudian waktu berjalan dengan menejemen pemerintahan baru yang seakan-akan benar-benar murni baru, padahal yang menjalankan pemerintahan bekas kerajaan raja lalim tersebut adalah orang-orang Raja lalim yang menyelamatkan diri dari tuntutan hukum dengan pura-pura ‘tobat’ dengan prilaku palsu seakan-akan telah berubah menjadi proletar juga.

Namun apa yang terjadi setelah pemerintahan berjalan sepuluh tahun? Ternyata kelompok palsu yang menjabat dipemerintahan baru dimasa transisi sepuluh tahun itu menjelma kedalam isi ‘bentuk dan wajah’ asli mereka sesungguhnya, hanya saja mereka telah berganti nama serta berganti ‘warna baju.’ Sepintas keberadaan mereka tidak terdeteksi, namun melalui output dari sikap serta prilakunya, diakhir masa barulah rakyat proletar tersebut sadar bahwa mereka telah terpedaya karena kenaifan/ke’lugu’an mereka sendiri. Bahwa betapa perjuangan menggulingkan Raja lalim dimasa lalu menjadi sia-sia adanya karena tidak mengubah keadaan menjadi lebih baik seperti apa yang pernah mereka cita-citakan dimasa sebelumnya.

Pada Reformasi di Indonesia

Apa yang Berubah setelah Reformasi berdarah-darah bahkan memakan tumbal beberapa mahasiswa dari Universitas Trisakti di Jakarta pada tanggal 13-14-15 Mei 1998? Walau saya mulai jarang bersilaturahmi dengan warga kampus Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta almamaterku disaat kejadian kemarin, namun ikatan emosionalku sangat erat dengan para alumninya terutama para alumni dari FH dan FE Usakti hingga sekarang. Jadi ketika para mahasiswa Trisakti tersebut tewas tertembak dihalaman dalam kampusnya sendiri, saya menangisi pilu kepergian dini mereka semuanya. Dari hati sanubari saya turut merasakan kehilangan yang dalam, sama persis seperti apa yang dirasakan oleh para orang tua mereka.

*Sekedar bernostalgia, bahwa saya melakukan pernikahan dengan Ikang Fawzi suamiku diusia yang sama dengan adik-adik pahlawan Universitas Trisakti yang tewas tertembak ketika itu karena saya menikah disaat menjelang penyelesaian ujian skripsi S1 dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta.

Dimasa reformasi kitapun menyaksikan banyak sekali oknum Orba berganti baju partai berpura-pura melakukan reformasi, namun isi kepala serta kelakuan mereka sama persis dengan oknum elit pemerintahan Orde Baru dimasa lalu. Bahkan banyak yang menduga bahwa proses sepuluh tahun yang diceritakan oleh Nicolo Machiavelli sedang dalam proses diujung akhirnya sedang terjadi di Indonesia hari ini. Para kelompok inti penerus Orba sedang ancang-ancang untuk kembali duduk berkuasa bahkan dengan cara yang sama persis seperti yang telah secara parpurna mereka lakukan dimasa lalu. Bagaimana cara kembali duduk dibangku pemerintahan? Ya dengan seluruh cara yang memang terbuka kemungkinannya – baik yang halal maupun tidak halal atau baik yang legal maupun tidak legal – karena didalam berpolitik semua itu dimungkinkan keberadaannya. Karena makna politik didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maupun Webster dan Oxford dijelasnkan kurang lebih sebagai: the craft, the art of, the strategy, siasah. Ya, cara untuk mencapai sesuatu! Berbeda dengan makna hukum yang berisi sekumpulan peraturan-peraturan boleh dan tidak boleh. Kalau hukum bersifat kaku maka politik bersifat lentur dan sangat flexible. Sehingga apabila politik yang menjadi ujung tombak sebuah masa transisi dari perubahan menuju perbaikan situasi dan kondisi, maka para kelompok pergerakan tidak akan pernah mendapatkan apa-apa dari sebuah titik balik menuju perubahan kualitas hidup dan kehidupan kita sebagai manusia zoon politicon.

Ketika Hukum di Indonesia Bukan Panglima

ketika yang menjadi raja adalah politik semata dan hukum bukan sebagai panglima, maka yang berlaku didalam proses perjalanannya adalah semata liberte yang merupakan sepertiga unsur dari total demokrasi – yang berarti liberal. Karena kita tahu bahwa demokrasi terdiri dari tiga unsur: (1) liberte; (2) egalite; dan (3) fraternite. Saya pikir di Indonesia tidak banyak orang mengkritik demokrasi, terdengar nyaring mereka hanya mengkritik kondisi dan aspek liberal serta liberalisasi ekonomi semata. Saya merasakan banyak keanehan denga kondisi diatas tersebut, karena menduga mereka tidak banyak dari mereka yang benar-benar faham terdiri dari unsur entitas/wujud/things apa saja demokrasi itu. Bahwa sebenarnya Pancasila Demokratik itu berbeda dengan Demokrasi Pancasila, juga tidak banyak yang membahas! Apalagi bila kita berdiskusi terkait dengan Pemilihan Umum Demokratis semisal Pilkada Banten 2006 dan Pemilihan Legislatif 2009. Sejujurnya yang terjadi adalah Pemilihan Umum Hukum Rimba dimana yang berlaku dan berlangsung adalah Homo Homini Lupus alias manusia serigala atas manusia lainnya. Tidak ada penegakan hukum yang adil, setara, dan berlaku semua sama dihadapan hukum (equality before the law). Yang terjadi adalah equality before the money atau equality before the power! Dalam bahasa gaulnya adalah ketika Keuangan Maha Kuasa!

Polri yang Tidak Netral

Saya tidak ingin membahas apa yang terjadi di Italia didalam certia Nicollo Machiavelli setelah sepuluh tahun berlangsung reformasi di kerajaan Italia pasca kelompok borjuis yang berubah penampakan menjadi seakan proletar tapi tetap berkelakuan borjuis tadi itu namun diibaratkan seorang penyanyi rock terkenal yang hanya ‘berganti panggung show’ dan ‘berganti jadwal show’ semata, lalu membandingkannya dengan situasi dan kondisi carut marut kondisi pemerintah Indonesia yang ‘katanya’ demokratis ini. ‘Tidak enak’ dengan para pengamat politik resmi yang senior yang ‘beredar’ didalam forum blog Kompasiana ini. Namun bila dibolehkan, terkait dengan pengalaman pribadi sebagai data primer pada Pilkada Banten 2006 lalu kemudian apa yang saya dan Ikang suamiku saksikan sendiri kecurangan demi kecurangan dan permainan money politics penguasa pusat dan daerah yang dilegalisasi pemerintah kita beserta jajarannya pada Pileg 2009 ini, lalu meriset dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana posisi POLRI sebagai alat negara penegak hukum yang pada kondisi tertentu ‘tidak berkutik’ untuk tetap menjaga netralitasnya — terhadap sumpahnya sendiri Sapta Marga dan Tri Brata didalam tugas melindungi dan mengayomi rakyat Indonesia. Lalu bagaimana beberapa oknum Polri yang lurus menjadi dilematik ketika berhadapan dengan sang ‘Boss’ yaitu Kepala Negara yang sekaligus Kepala Pemerintahan didalam sistem negara Presidensil cq Presiden Republik Indonesia yang memiliki agenda lain didalam menjalankan tugas serta fungsi kenegaraan.

3-kecurangan-sby-keppres-ratu-atut-chosiyah-dipaksakan-presiden-sby-2007

Maka dengan segala kerendahan hati apabila diperbolehkan, saya bersedia memberikan buah pikiran saya pada penulisan berikutnya. Karena kelihatannya hanya melaui penyebaran buah pikir melalui media demokratik seperti blog inilah, percepatan alternatif masa depan Indonesia yang lebih baik dapat dimulai proses terjadinya.

Allahu Akbar! Kita belum merdeka!

***

No comments:

Post a Comment