|
|
|
|
|
|

Sunday 27 July 2008

Bunda Khofifah Sahabat Jawatimuran-ku

TULISAN ini saya buat pada tanggal 27 Juli 2008, saat pencanangan pertama Pilkada Jatim 2008 sebagai moral support saya untuk Bunda Khofifah Indar Parawansa.

SEJAK tiga hari lalu sepulang dari umroh, membuat hati dan diri ini —masih didominasi ‘selimuti alam pikir’ gelombang alpha– menjadi semakin sering bersenandung “Ya nabi salam ‘alaika” serta berbagai dzikir muhasabah. Entah kenapa tiba-tiba pikiran ini seakan-akan menjadi melayang-kayang memikirkan sosok perempuan Indonesia yang selama ini saya kagumi. Dia adalah Khofifah Indar Parawansa, salah satu kandidat Gubernur Jatim.
Saya mengenal sosok Khofifah ketika kali pertama ia terpilih menjadi salah seorang menteri pada Kabinet Presiden Gus Dur. Ia memegang amanah sebagai Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP). Sebagai salah satu menteri, Khofifah bukanlah wanita berpendidikan paling tinggi di lingkungannya. Ada nama lain yang sekarang juga sedang menjabat. Ia adalah Prof Dr Meutia Hatta. Kalau boleh berkata jujur, dari dua tokoh wanita itu, Khofifah, menurut alam pikiran saya merupakan wanita paling vokal. Sepanjang karir politiknya, ia juga sangat menonjol saat menjadi anggota DPR RI dari FPKB.

Saya mengenal Khofifah lebih dalam setelah menyaksikan bagaimana wanita itu memberikan spirit atau dorongan yang amat luar biasa kepada suaminya, Indar Parawansa (kakak kelasku di IPB Bogor). Lebih-lebih ketika suaminya menghadapi situasi cukup genting, untuk meraih gelar tertinggi akademik dari PSL-IPB (Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor).Perkawanan saya dengan wanita itu semakin dekat pada saat Neno Warisman, selama tiga bulan menjadi juri Pildacil di La TV, beberapa bulan yang lalu. Bersama Khofifah, kami berdua seringkali menyelipkan berbagai pesan lingkungan hidup berbasis argumen ilmu Al Quran. Sejak di semi final hingga final, para peserta kami coba untuk memasuki wilayah pemahaman terhadap ilmu sistem lingkungan hidup yang holistic serta integrated dengan bahasa sederhana, mudah dimengerti orang awam.TIGA bulan lalu saat Khofifah dan pasangannya mendeklarasikan diri sebagai calon Gubernur Jatim — bertempat Stadion Gelora 10 November Surabaya– saya, Mbak Emilia Contessa (wong Banyuwangi), Neno Warisman dan beberapa artis lokal dari Jawa Timur, serta sebagian keluarga besar PPP dan warga Nahdiyin Jawa Timur (NU), berbaur menjadi satu dengan seluruh pendukung dari unsur partai pendukung lainnya. Kami semua sepakat mencalonkan pasangan Ka-Ji.

Dan hari ini, tanggal 23 Juli 2008, akan menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam kehidupan Bunda Khofifah (panggilan sayang seluruh kru, juri dan peserta acara Pildacil). Saat yang dinant- nantikan selama tiga bulan nan cukup melelahkan, akhirnya terlampau juga. Hari ini masyarakat Jawa Timur mengadakan pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih pemimpin terbaiknya

Saya mendoakan semoga semuanya berjalan lancar tanpa ada tangan-tangan dzolim seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Banten. Terkait dengan Pilkada Jatim, saya menyiapkan hipotesa. Menang atau kalah, Khofifah dan pasangannya, akan menghadapi setumpuk persoalan menyangkut kegelisahan hukum berkepanjangan.

Sebagai seorang warga negara, kurang lebih dua tahun saya telah merasakan kegelisahan yang tidak penting ini. Tidak penting! Peranan hukum tergerogoti oleh ulah segelintir manusia yang mencoba memainkan hukum hanya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Dugaan atau asumsi itu akhirnya menjadi kenyataan ketika satu persatu aparat hukum yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi rakyat, aibnya terbongkar. Kita semua tahu bagaimana bobroknya mental atau aparat hukum, terkait dengan berbagai kasus besar yang melanda negeri ini. Misalnya saja skandal melibatkan Jaksa Urip, belum lama ini.

Hukum benar-benar diadili. Hukum benar-benar menjadi sorotan publik. Hukum benar-benar mandul tak bisa bicara apa-apa ketika kepentingan-kepentingan finansial telah merasuk, menyusup, lalu menyelinap ke dalam pasal-pasal… Sungguh ironi dan amat menyesakkan dada. Nafas seakan-akan nyaris terhenti. Nalar manusia pun akhirnya tak bisa berjalan dengan sempurna akibat keboborokan- kebobrokan yang telah dipertontonkan aparat hukum. Semua manusia menjadi muak, skeptis bahkan cenderung apatis. Apatis lahir dari tidak adanya secuil harapan, terutama dalam mencari kebenaran hakiki. Kebenaran-kebenaran yang dirindukan itu, ternyata masih tersimpan di dasar jiwa. Kebenaran- kebenaran itu, tak juga bisa terangkat keluar dan menempati posisi atau derajat tertingginya karena hilangnya atau memudarnya cahaya suci dari lubuk hati manusia akibat terkontaminasi perilaku-perilaku buruk yang dinamakan penyakit hati.

Karena itu, saya maupun warga negara Indonesia lainnya yang melek hukum masih berusaha meyakinkan kepada diri sendiri bahwa negeri ini sebenar-benarnya adalah negara hukum seperti dijamin oleh UUD 45 pada pasal 1 ayat 3. Itu artinya ada optimistis bahwa suatu saat kelak, aparat hukum akan lebih banyak bicara dengan hati nuraninya dalam menegakkan pasal-pasal hukum demi menemukan hakikat dari sebuah kebenaran. Hati nurani itu akan lebih banyak berbicara manakala kesadaran diri sebagai makhluk paling sempurna sudah mendekati kepada pintu gerbang pencapaian makna –untuk apa manusia diturunkan ke muka bumi? Ketika kesadaran mulai lahir bahkan terbangunkan kembali, maka masing-masing manusia ikut melakukan pengawasan terhadap keabsahan jaminan hukum, agar kebenaran itu tidak tertidurkan kembali.

Kadang, saya ketawa geli, manakala melihat para aparat hukum dengan sengaja mempermainkan hukum. Lalu muncul pertanyaan, “Salahkah saya… kalau ketimpangan-ketimpangan itu saya jawab dengan senyuman? Atau salahkah saya, kalau kebenaran itu terus saya buru hingga sampai ke kaki langit? Atau… jangan-jangan semua ini terjadi akibat akal manusia sengaja ditidurkan?”

Segudang pertanyaan itu, masih hinggap di benak saya. Saya lalu bertanya kembali kepada hati dan jiwa. “Sudah separah itukah negeriku? Lalu mau kalian bawa kemana negeri ini ketika penguasa tak lagi bisa dipercaya?”

***

KEMARIN sore dalam perjalanan pulang dari Balikpapan menuju Jakarta, saya berpapasan dengan Cawagub Kaltim pasangan AFI (Awang Farouk – Farid Wajdi) yang salah satunya diusung oleh PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Di ruang Executive Lounge Garuda Indonesia, saya menjalin sebuah diskusi cerdas dan hangat bersama Pak Farid.

Beliau dengan latar belakang seorang ustad dan pernah menjadi PNS Depag Kaltim, sangat menyayangkan beberapa komentar yang keluar dari sebuah ungkapan arogan berbau sangat provokatif. Misalnya, KPUD Kaltim tidak ada urusannya dengan MA (Mahkamah Agung). KPUD dapat menolak fatwa MA dan lain sebagainya.

Saya hanya mendengarkan dan mendengarkan. Apabila benar apa yang diceritakan itu, saya sungguh sangat menyayangkannya. Mengapa? Tak sepatutnya kita terjebak kepada wilayah emosi. Ujung dari perjalanan emosi biasanya akan kontraproduktif. Selain bisa membuat denyut jantung tak beraturan dan akhirnya bisa melahirkan penyakit, emosi yang lahir dari buah ketidaksabaran akan membahayakan semua pihak.

Artinya, manusia dapat dipastikan akan gelap mata. Nah, ketika mata menjadi gelap, maka jalannya pasti tertatih-tatih dan terantuk-antuk. Kalau sudah begitu, sakitlah tubuh fisik ini. Ketika fisik sakit, maka pikiran juga akan terkena imbasnya. Jika pikiran manusia sudah ‘tersakiti’ oleh perilaku-perilaku yang diciptakannya, maka semuanya akan menyeret badan.

Sembari menunggu pesawat, saya meluangkan waktu sedikit untuk melakukan kontemplasi, mengevaluasi konteks peristiwa yang sudah terjadi, termasuk ribut-ribut atau gontok-gontokan pasca Pilkada yang nyaris melanda seantero negeri ini.

Saya lalu teringat buku berjudul Il Principe, karya Nicolo Machiavelli. Dalam buku yang aslinya ditulis dalam bahasa Italia tersebut digambarkan dan dijelaskan bahwa hukum ’tak tertulis’ di dunia ini adalah bahwa pada 10 tahun masa pasca sekompok proletar berhasil menang atas kaum borjuis merebut kursi kekuasaan di pemerintahan, maka para kaum borjuis yang selama masa tersebut berpura-pura mereformasi diri demi bertahan terhadap gelombang perubahan sosial-politik, maka dengan kekuatan besarnya ia akan datang kembali dengan ’wajah serta baju baru.’ Kelompok reformis asal proletar tidak akan merasakan ancaman laten tersebut.

Hari ini bila kita mengacu kepada seluruh kekacauan yang pernah terjadi di negeri ini, sebenarnya cerminan (indikator) akan datangnya ’monster politik’ masa lalu yang saat ini sudah ada di depan kita dengan kekuatan lebih prima, amunisi lebih mumpuni, sumberdaya manusia lebih siap, serta memiliki network strategy tak tertandingi. Mereka hanya dapat dikalahkan apabila ada intervensi ’tangan’ Allah semata.

Lihatlah kasus Lapindo yang tak kunjung selesai yang akan menjadi pekerjaan rumah Khofifah bila ia menang nanti. Dengarkan jerit-tangis sebagian besar keluarga besar rakyat Jawa Timura yang telah kehilangan segalanya serta tercerabut dari akar budayanya. Doa panjangku untuk Bunda Khofifah dan pasangannya dalam Ka-Ji (www.kaji-manteb.com), semoga semakin mantab di dalam berjihad dijalan-Nya. Dan ’manteb’ pula nantinya di dalam mewakili jerit-derita wong Porong, Sidoarjo.Namun, bila nanti kalah karena faktor kedzoliman dari aspek keadilan yang tidak jujur. Maka janganlah bersedih dan berkecil hati. ”La tahzan,” saranku sebagai kawan baikmu, Bunda Khofifah, teruslah berjuang jangan pernah mengatakan kalah terhadap kebathilan seperti perjuanganku sampai dengan hari ini untuk ranah Propinsi Banten melalui berbagai upaya peradilan, walau kadang menyakitkan. Doa ikhlasku untukmu sobat! All the best semua hanya karena Allah… hanya karena Allah… hanya karena Allah….

Read more!