|
|
|
|
|
|

Saturday 27 December 2008

Pahlawan Kepemimpinan Muda Indonesia

SEJAK semalam disalah satu tv swasta Indonesia dan headline hari ini diharian Kompas, Gramedia Grup mengabarkan tentang makna dan proses menjadi seorang pahlawan. Tentulah klop dengan tanggal hari ini tertanggal 10 November yang dinyatakan secara nasional sebagai Hari Pahlawan Indonesia. Di tv swasta semalam tersebut, salah seorang pakar motivasi Indonesia Mario Teguh mengatakan bahwa setiap dari kita adalah pahlawan. Seorang pahlawan bukanlah yang selalu yang berada pada posisi paling depan dimedan pertempuran dan tewas duluan. Dia dapat berada dimanapun, kapanpun, serta dalam kondisi apapun. Jadi artinya kita semua tanpa terkecuali mampu untuk menjadi pahlawan dilingkungan dimana kita bertempat tinggal.
Pagi ini saya dan Ikang Fawzi suamiku diundang oleh salah seorang sahabat kami Eko Patrio untuk menjadi narasumber disalah satu acaranya berjudul “Dewa Dewi” yang berbentuk talkshow semi komedi namun selalu mampu menyelipi beberapa pesan sosial-ekonomi-hukum yang lumayan serius.

Eko Patrio sebagai produser sekaligus merangkap host pada acaranya di TPI ini yang alhamdulillah dengan kecerdasan khasnya, mampu mendongkrak nama serta partainya sehingga mampu muncul menjadi calon legislatif 2009 yang paling diinginkan kedua terbesar setelah Agung Laksono yang memang sampai hari ini adalah Ketua DPR RI. Alhamdulillahnya, posisi ketiga diraih oleh saya sendiri Marissa Haque Fawzi. Insya Allah, ini merupakan sumbangan terbesar pertama dari saya sebagai seorang kader baru bagi partai kedua yang baru saya masuki dalam setahun belakangan ini. Dari 21 buah nama yang pop-up (muncul), ternyata tersebut 10 buah nama yang berasal dari kelompok selebriti (disebut: artis) Indonesia.

Jagad perpolitikan nasional tercengang, sebagian besar masyarakat elit dan intelektual protes keras. Sebagian positif, namun tak kurang yang negatif.Bahkan seorang pakar komunikasi dari UI (Universitas Indonesia) yang juga salah seorang pemandu acara semi komedi-politik disalah satu tv swasta memberikan komentar minor akan kenyataan resmi dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) didepan mata ini.

Hanya satu-dua komentar yang muncul dimedia yang memberikan dukungan positif atas kehadiran entitas ‘alien’ kami ini. Salah satu dari komentar manis tersebut datang dari Dr. Andi Malarangeng salah seorang staf khusus / jubir Presiden RI. Ia mengatakan bahwa adalah hak para selebriti untuk hadir menjadi politisi, karena memang peluang terbuka bagi siapapun yang mampu dan memenuhi syarat.

Ya benar, saya setuju dan memberikan apresiasi tinggi atas komentar positif tersebut. Karena sejujurnya, bahwa sang Presiden RI pun belakangan ini memasuki wilayah ruang selebritas di beberapa infotainment Indonesia.

Aha! Entah siapa konsultan medianya, karena yang jelas memang – diluar tugas konstitusional kenegaraan – langkah Presiden memasuki wilayah ‘remeh-temeh’ tersebut berdampak positif atas pelurusan berita gossip yang sempat menerpa sang Presiden. Semisal kelahiran cucu pertamanya yang dianggap dipaksakan melalui operasi secsio demi mengejar bersamaan dengan HUT proklamasi kemerdekaan Indonesia.Siang nanti saya diterima oleh Bambang Sulistomo anak Pahlawan Negara Bung Tomo asala Surabaya. Mas Bambang senior suamiku di FISIP-UI saat kuliah dulu, adalah salah seorang supporter utama saya selama berjihad menjujurkan keadilan dan membingkai politik dengan hukum didalam menegakkan keadilan Pilkada Banten 2006 yang sangat kaya akan kecurangan serta intimidasi itu. Bung Tomo, Ayah Mas Bambang baru saja diresmikan menjadi salah seorang pahlawan Negara kita. Pertanyaannya kemudian: “Why it takes so long?” kenapa lama sekali pengakuan menjadi pahlawan ini diberikan sebuah negara yang katanya merdeka dan berdaulat? Apa yang salah selama ini dengan negeri ini didalam mengapresiasi para pahlawannya? Walau sejauh yang saya tahu bagi keluarga Mas Bambang, diakui atau tidak soal kepahlawanan ayahnya, mereka menganggap dari dulu ayah mereka adalah seorang pahlawan sejati.Menurut Mario Teguh semalam, dikatakah bahwa seorang pahlawan sejati tidak perlu pengakuan dari orang lain. Ia bagaikan sebuah lilin yang rela meleleh demi memberikan penerangan pagi sekelilingnya. Nah, bagaimana dengan kita semua? Sejauh mana (to what extent) keikhlasan kita berbuat banyak atas kebaikan tanpa orang lain harus mengetahuinya?Tiba-tiba tangan saya tanpa sengaja membuka sebuah sms yang sengaja saya simpan untuk tetap menjaga ‘bara’ jihad perjuangan menjujurkan keadilan dan membingkai politik dengan hukum diranah Banten ini. Kiriman seorang wartawan perempuan yunior yang pernah saya kagumi kecerdasannya, lulusan sebuah univeritas bergengsi di Provinsi Jawa Timur. Saya memang mengirimkan lebih dulu sebuah sms undangan untuk hadir pada sidang pembuktian kasus ‘dugaan’ ijazah palsu Gubernur Banten disaat mengikuti Pilkada Banten 2006 yang lalu di PN Tangerang, Banten.

Namun jawaban yang saya peroleh sangat mengagetkan karena sangat ketus dan menurut saya yang memiliki banyak sahabat para wartawan yang lebih senior, masya Allah… kurang berbudaya. Untungnya saya telah melaui perjuangan selama hampir 2 (dua) tahun dan telah melalui berbagai asam-manis-pahit perlakuan diskriminatif dari oknum media. Dan saya berhasil membuktikan kebenaran dari teori media massa The Framing Analysis yang mengatakan bahwa didalam era indutri media seperti sekarang ini, tidak ada media yang benar-benar seputih kapas. Semua media membawa misi dan visi sang pemilik/pemodal dibelakangnya. Semua menuju satu arah, yaitu growth only. Dalam koridor teori ekonomi pembangunan artinya adalah mengejar keuntungan setingi-tingginya, dan sebagian dari pelaku industi media terperosok dalam jebakan economic drive ini sehingga melupakan idealisme media sesungguhnya.Ikhlas dan sejujurnya, bahwa saya telah memamafkan sang wartawan perempuan yunior tersebut setelah dengan sangat ’sadis’ mengatakan kepada saya:”… saya tidak tertarik mengabarkan di media saya apa yang kamu lakukan karena kamu sudah kalah.Innalillahi… Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, sejujurnya sebagai manusia perempuan biasa saya sangat sedih atas dua kata dia yang terakhir, yaitu “sudah” dan “kalah.” Jawaban saya untuk dia semoga tidak mengecewakan almarhum ayah dan ibuku adalah sebagai berikut: “Hi mbak ‘…’ Bagi saya kekalahan itu hanyalah pernyataan didalam pikiran kita, tidak lebih. Terimakasih banyak atas balasan smsnya, namun tidak akan mempengaruhi jihad saya didalam menjujurkan keadilan dan membingkai politik dengan hukum. Kegagalan hanyalah kemenangan yang tertunda. Juga menang adalah kemampuan mengalahkan diri sendiri. Saya akan tetap apa adanya dengan perjuangan saya ini, karena saya yakin Allah SWT selalu bersama langkah kanan saya – being blessed by God the Almighty, Allah SWT. Bismillaaaah… Salam kasih, Marissa.” Demikian kurang lebih isi sms saya dengan upaya nada bersahabat dan tidak ingin terpancing emosi.

Namun setelahnya lalu muncul didalam benak saya sebuah pertanyaan selanjutnya yaitu: “Apakah saya ingin dikatakan pahlawan dengan perjuangan melelahkan di Propinsi Banten ini?”

Masya Allah… hari ini dan seterusnya kedepan, saya harus meyakinkan diri saya sendiri, bahwa sebagai menantunya wong Banten saya hanya melakukannya hanya karena Allah SWT semata, untuk menjadi Kekasih-Nya. Tidak lebih dan tidak kurang, insya Allah demikian sejujurnya saya ungkapkan.

Allahu Akbar, merdeka!

Dr. Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum.

No comments:

Post a Comment