|
|
|
|
|
|

Tuesday 25 August 2009

Tulisan Linda Jalil untuk Amris Fuad Hasan: Keduanya Temanku yang di Sayang Allah

Membaca tulisan tentang pak dubes yang satu ini, ingatan saya melayang ke zaman SMP. Sekelas dengan Ampi yang berseragam putih abu-abu celana pendek sedengkul, yang biasa dipanggil dari seorang Amris Hasan, sungguh menyenangkan. Ia duduk hanya dua baris di samping saya. Santun, tertawa seperlunya, agak pendiam, tetapi tekun dan cerdas. Ayahnya sudah menjabat meski belum menjadi menteri P&K waktu, tetapi Amris Hasan tidak pernah petentengan sebagaimana ‘anak pejabat di Menteng’ lain yang bersekolah di tempat yang sama, SMP Negeri I Cikini.

Saya juga teringat ketika sudah menjadi mahasiswa, hampir setiap pagi bertemu Chappy Fuad Hasan, ibu Amris di ruang dosen. Selalu menyapa dengan hangat dan seringkali melingkari tangannya ke pundak saya. “Ayo dong main ke rumah. Kamu kan teman kecil Ampi”, ujar bu dosen. Keluarga itu memang satu sama lain hangat sekali. Sampai-sampai, putra putri ini hanya memanggil ayahnya dengan “Ad” saja….

Fuad Hasan, sang menteri yang banyak sekali fansnya itu, juga sering saya ‘pelototi’ ketika asap rokok mengebul-ngebul tiada henti. Saat saya bertugas di Istana dan menyatakan ketidaksukaan terhadap rokok yang selalu ditentengnya sebelum menghadap Presiden, Fuad Hasan selalu bilang, “Hehee.. jangan tanya saya kapan berhenti. Ini kan obat, Lin!”

Ketka saya mengadakan konser Ulang Tahun umur yang semakin bertambah, saya menawarkannya untuk bermain biola di muka umum, membawakan lagu yang saya ciptakan. Lalu ia bilang, “Pertama saya ada resepsi pernikahan saudara dekat. Kedua saya sudah jompo nggak bisa sebaik dulu lagi main biola..”, sembari tertawa terkekeh-kekeh.

Kembali ke Amris Hasan. Eh.. nanti dulu….mengingat dia, mau tak mau memang saya teringat seluruh keluarga itu. Adiknya yang wanita, pemilik galeri lukisan, juga super ramah dan gesit . sekali. Paman Amris, Qadir Basalamah adalah pria bersahaja yang memang disekolahkan dan tinggal di rumah kakek saya tahun-tahunan. Adik Fuad Hasan ini tekun sekali, sampai akhirnya menjadi dirjen haji di masa lalu.

Amris Hasan, si celana pendek putih abu-abu itu tahu-tahu sudah di DPR. Tahu-tahu lagi ia sudah terbang ke New Zealand menjadi duta besar di sana. Tak heran memang. Tampan, politikus handal, temannya sejuta umat, dan kini dia memang tidak pendiam seperti dulu. Menjelang keberangkatannya menempati posisi duta besar, hampir tiap minggu saya memergokinya di toko mebel di kawasan Kemang. Dengan teliti ia memilih barang-barang, memesan model, mengukur dengan cermat. “Buat apa’an si h Mpi?”, tanya saya. Ternyata ia sedang mengisi rumah kedua orang tuanya. Meja kecil, tempat tidur, sampai hal-hal yang kecil pun diamati di toko itu. Tampaknya akhirnya ia memang memesan di tempat itu. Dasar Amris.., dia pula sendiri yang berbelanja tanaman, bunga , jauh-jauh ke pasar Rawabelong. Saya jadi teringat almarhum ayah saya. Urusan rumah tangga sampai merangkai bunga di jambangan tak luput dari perhatian. Dulu ketika anaknya muncul berturut-turut, juga ada yang kembar, saya pernah berkelakar, “Rasain lu Mpi… punya anak banyak… jadi harus urus yang baik, kerja keras, dan rangkul semuanya yaaaa!”. Dan Amris pun tertawa lebar sembari memuji-muji istrinya yang cantik, putri Faisal Abda’oe mantan dirut Pertamina itu. Saya juga sungguh berduka ketika Fuad Hasan wafat. Amris datang dari New Zealand dengan penuh duka. Rumah yang apik, yang saya bayangkan hasil penataan Amris bagi ayah bundanya, tentu akan sepi kehilangan satu penghuninya.

Belum lama ini, p ak dubes ini berkali-kali menulis di facebook, agar saya mampir ke negeri yang sedang ia tempati. Tampaknya tugas Amris di sana tak lama lagi. Semoga saja ia loncat lagi menjadi kepala perwakilan di tempat lain lagi. Buah tak jauh dari pohonnya. Fuad Hasan yang disayang banyak orang, supel bergaul, dan telah memberikan banyak kebaikan bagi negeri ini.., kelihatannya akan dan mulai diikuti oleh Amris. Semoga saja….

No comments:

Post a Comment