|
|
|
|
|
|

Saturday 8 August 2009

Melengkapi Tulisan Pak Prayitno Ramelan: PPP yang Semakin Terperosok

Melengkapi Tulisan Pak Prayitno Ramelan: PPP Yang Semakin Terperosok yang telah saya baca pada 6 Augustus 2009 — tertulis sampai hari ini telah terbaca sebanyak 1069 Kali – membuat saya semakin mengelus dada ketika sore tadi mendengar dari salah seorang timsesku di Dapil Jabar 1 bahwa PPP masih akan semakin terkoyak dengan akan keluarnya Pak Bachtiar Chamsah membawa gerbong Parmusinya agar dapat mandiri/independent menjadi partai yang dapat memutuskan sendiri akan bergabung dengan siapa, kapan, dan dimana. Sebagai warga baru di PPP tentu saja saya merasa sangat sedih, mengingat hampir setengah dari anggota timsesku kemarin datang dari kelompok Islam Persis, dan Parmusi. Baru yang setengah lagi pendukung NU sesuai dengan garis keturunan Mama-ku almarhumah.

Ada baiknya kelihatannya tulisan Pak Prayitno dapat dibaca oleh tamu yang empat mampir dikolomku ini yang mungkin kebetulan adalah pendukung/simpatisan PPP — partai tertua di Indonesia sampai dengan hari ini sejak didirikannya pada tahun 1974 lalu.

PPP Yang Semakin Terperosok

PPP atau Partai Persatuan Pembangunan adalah sebuah partai senior atau partai politik tua dikalangan partai politik berasas Islam maupun partai yang berbasis massa Islam. Nasib PPP pasca reformasi 1998 tampak semakin meredup. Pada pemilu 1999 PPP meraih 10,71%, pada pemilu 2004 meraih 8,15% dan pada pemilu bulan April lalu, PPP kembali makin terperosok,hanya memperoleh 5,32%, menduduki peringkat keenam dibawah Partai Demokrat, Golkar, PDIP, PKS dan PAN. Penurunan perolehan suara dari tiga pemilu tersebut oleh banyak pihak dikatakan lebih banyak disebabkan karena terjadinya konflik di internal partai. Mari kita telisik partai Islam ini dengan keterperosokkannya.PPP dideklarasikan pada tanggal 5 Januari 1973, merupakan hasil fusi dari empat partai keagamaan yaitu Parmusi, Partai NU (Nahdatul Ulama), PSII (Partai Serikat Islam Indonesia), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Kepemimpinan PPP sejak awal berdirinya PPP dipegang duet tokoh NU dan Parmusi, yaitu Idham Khalid (Ketua Umum Pengurus Besar NU saat itu) sebagai presiden dan Mohammad Syafaat Mintaredja (Ketua Umum Parmusi). PPP saat itu tidak berhasil menggelar muktamar. Pada pemilu 1977, PPP berhasil menguasai beberapa propinsi mengalahkan Golkar.

Pada 1979 kepemimpinan beralih ke Djaelani Naro, PPP menjadi lemah setelah menerima lambang dan asas parpol yang diputuskan Presiden Soeharto. Pada pemilu 1982 beberapa daerah PPP berhasil direbut oleh Golkar. Pada 1984 NU menyatakan kembali ke khitah, kembali terjadi konflik antara Naro dan kelompok delapan. Pada Muktamar 1989 Naro tergeser digantikan duet Parmusi dan NU, yaitu Ismail Hasan Metareum–Matori Abdul Djalil. Pada 1998 dari hasil Muktamar ke-4 Hamzah Haz terpilih sebagai Ketua Umum PPP.

Hamzah Haz memimpin dalam dua periode 1998-2003 dan 2003-2007. Hamzah menjadi Wapres sejak 2001, saat itu PPP menjadi partai yang disegani. Tetapi pada 2002 kembali terjadi konflik, Zainuddin MZ bersama beberapa tokoh PPP mendirikan PPP Reformasi sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap PPP. PPP Reformasi pada tahun 2003 berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi. Pada 2007 kepemimpinan beralih kepada Suryadharma Ali, dan kembali terjadi konflik dengan Bachtiar Chamsyah Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP. Peristiwa bermula pada September 2008, Suryadharma Ali memecat kader kesayangan Bachtiar Chamsyah di Parmusi, Irgan Choirul Mahfiz, dari kursi Sekjen DPP PPP.

Konflik antara Suryadharma Ali dan Bachtiar Chamsyah menunjukkan, PPP sejak awal nampaknya memang belum mampu mengelola perbedaan pendapat di internalnya. Bahkan, jika ditarik lebih jauh lagi, elit PPP tampak lebih mementingkan kepentingan masing-masing kelompok ditubuh partai. Persaingan unsur-unsur fusi yang pada gilirannya jelas sangat memengaruhi kinerja partai. Parpol seharusnya juga menjadi media untuk mengembangkan gagasan dan transformasi ide.

Jadi kini nampak bayangan dalam menjawab pertanyaan, ”Kenapa PPP sebagai parpol Islam tua ini terus terperosok?”

Dari beberapa fakta dan data diatas, sementara dapat ditarik kesimpulan. Pertama, partai ini tidak pernah lepas dari konflik, seharusnya partai politik juga bisa menjadi ajang pengelolaan konflik secara baik. Kedua, karena tetap adanya persaingan unsur fusi, inilah sumber konflik yanng tidak pernah tuntas diselesaikan. Ketiga, lemahnya kepemimpinan partai, yang seharusnya partai politik justru menjadi wadah proses rekrutmen kepemimpinan. Nah, melihat trend penurunan perolehan suara PPP yang stabil sejak 1999-2004 (2,56%) dan 2004-2009 (2,73%), maka apabila kondisi ini tidak cepat diatasi, kemungkinan perolehan suara PPP pada 2014 hanya akan mencapai perolehan suara sekitar 2,7% saja.

Kini muncul pertanyaan baru. Dari fakta-fakta tersebut diatas, apakah juga merupakan gambaran bahwa parpol Islam dengan gaya dan pemikiran lama tidak menarik lagi bagi rakyat kita? Apakah para konstituen telah terpengaruh dengan arus globalisasi, reformasi dan demokrasi kebebasan yang kini marak? Semuanya ini patut untuk diteliti lebih lanjut bagi para elit PPP kalau masih tetap ingin eksis sebagai parpol Islam di Indonesia. Apabila kondisi yang melilit parpol ini tetap dibiarkan, diperkirakan pada pemilu 2014 bukan tidak mungkin PPP tidak lolos dari sergapan parliamentary threshold, mengingat mulai adanya wacana PT dinaikkan menjadi 5%.

PPP pada pemilu legislatif 2009 berada dibawah PKS dan PAN. Apakah mungkin gaya kedua partai yang mengusung gaya baru tersebut mungkin lebih baik? Kita bersama mengetahui bahwa mayoritas pemilih berada ditengah, sehingga apabila PPP terus berada dipinggir dengan ide-ide dan konsep lamanya, ditambah dengan beberapa masalah yang melilitnya, makin lama jelas akan semakin terperosok. Demikian sedikit pandangan tentang PPP, partai politik tua dan senior yang semakin terperosok, sayang memang…semoga bermanfaat.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Tags: ,


No comments:

Post a Comment